PERATURAN DIRJEN PAJAK
NOMOR PER-57/PJ/2009 TANGGAL 12 OKTOBER 2009
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-31/PJ/2009
TENTANG PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK
PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 SEHUBUNGAN DENGAN
PEKERJAAN, JASA, DAN KEGIATAN ORANG PRIBADI
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Menimbang :
bahwa agar pelunasan pajak dalam tahun berjalan
melalui pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan yang diterima
atau diperoleh orang pribadi yang merupakan bukan pegawai mendekati jumlah
pajak yang akan terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan, perlu menetapkan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Perubahan atas Peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 tentang Pedoman Teknis Tata Cara
Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak
Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang
Pribadi;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 16 TAHUN 2009
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4893);
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan dengan
Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi;
4. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2009
tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak
Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan
Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PERUBAHAN
ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-31/PJ/2009 TENTANG PEDOMAN
TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL
21 DAN/ATAU PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN, JASA, DAN
KEGIATAN ORANG PRIBADI.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Direktur Jenderal
Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan,
Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan
Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi diubah
sebagai berikut:
1. Ketentuan
Pasal 9 ayat (1) diubah sehingga Pasal 9 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 9
(1) Dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal
21 adalah sebagai berikut:
a. Penghasilan Kena Pajak, yang berlaku
bagi:
1. pegawai tetap;
2. penerima pensiun berkala;
3. pegawai tidak tetap yang penghasilannya
dibayar secara bulanan atau jumlah kumulatif penghasilan yang diterima dalam 1
(satu) bulan kalender telah melebihi Rp1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua
puluh ribu rupiah);
4. bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c yang
menerima imbalan yang bersifat berkesinambungan.
b. Jumlah penghasilan yang melebihi Rp150.000,00 (seratus lima
puluh ribu rupiah) sehari, yang berlaku bagi pegawai tidak tetap yang menerima
upah harian, upah mingguan, upah satuan atau upah borongan, sepanjang
penghasilan kumulatif yang diterima dalam 1 (satu) bulan kalender belum
melebihi Rp1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah);
c. 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto, yang
berlaku bagi bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c yang
menerima imbalan yang tidak bersifat berkesinambungan;
d. Jumlah penghasilan bruto, yang berlaku bagi penerima
penghasilan selain penerima penghasilan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b,
dan huruf c.
(2) Dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal
26 adalah jumlah penghasilan bruto.
2. Ketentuan Pasal 10 ayat (2) dan ayat (5) diubah sehingga
Pasal 10 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 10
(1) Jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh
Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah
seluruh jumlah penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang diterima
atau diperoleh dalam suatu periode atau pada saat dibayarkan.
(2) Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (1) huruf a adalah sebagai berikut:
a. bagi pegawai tetap dan penerima pensiun berkala, sebesar
penghasilan neto dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP);
b. bagi pegawai tidak tetap, sebesar
penghasilan bruto dikurangi PTKP;
c. bagi bukan pegawai sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 huruf c, sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan
bruto dikurangi PTKP per bulan.
(3) Besarnya penghasilan neto bagi pegawai tetap yang dipotong
PPh Pasal 21 adalah jumlah seluruh penghasilan bruto dikurangi dengan:
a. biaya jabatan, sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan
bruto, setinggi-tingginya Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) sebulan atau
Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) setahun;
b. iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh pegawai
kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau
badan penyelenggara tunjangan hari tua atau jaminan hari tua yang dipersamakan
dengan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
(4) Besarnya penghasilan neto bagi penerima pensiun berkala yang
dipotong PPh Pasal 21 adalah seluruh jumlah penghasilan bruto dikurangi dengan
biaya pensiun, sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto,
setinggi-tingginya Rp200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) sebulan atau
Rp2.400.000,00 (dua juta empat ratus ribu rupiah) setahun.
(5) Dalam hal bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
hurut c memberikan jasa kepada Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26:
a. mempekerjakan orang lain sebagai pegawainya maka besarnya
jumlah penghasilan bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar
jumlah pembayaran setelah dikurangi dengan bagian gaji atau upah dari pegawai
yang dipekerjakan tersebut, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak
dapat dipisahkan bagian gaji atau upah dari pegawai yang dipekerjakan tersebut
maka besarnya penghasilan bruto tersebut adalah sebesar jumlah yang dibayarkan;
b. melakukan penyerahan material atau barang maka besarnya
jumlah penghasilan bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya atas
pemberian jasanya saja, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat
dipisahkan antara pemberian jasa dengan material atau barang maka besarnya
penghasilan bruto tersebut termasuk pemberian jasa dan material atau barang.
(6) Dalam hal jumlah penghasilan bruto sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dibayarkan kepada dokter yang melakukan praktik di rumah sakit
dan/atau klinik maka besarnya jumlah penghasilan bruto adalah sebesar jasa
dokter yang dibayar oleh pasien melalui rumah sakit dan/atau klinik sebelum
dipotong biaya-biaya atau bagi hasil oleh rumah sakit dan/atau klinik.
3. Ketentuan
Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 16
(1) Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang
Pajak Penghasilan diterapkan atas jumlah kumulatif dalam satu tahun kalender
dari:
a. Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
ayat (2) huruf c, bagi bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c
yang menerima imbalan yang bersifat berkesinambungan yang memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1);
b. 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto untuk
setiap pembayaran imbalan bagi bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
huruf c yang bersifat berkesinambungan yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1);
c. jumlah penghasilan bruto berupa honorarium atau imbalan yang
bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh anggota dewan komisaris
atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap pada perusahaan
yang sama;
d. jumlah penghasilan bruto berupa jasa produksi, tantiem,
gratifikasi, bonus atau imbalan lain yang bersifat tidak teratur yang diterima
atau diperoleh mantan pegawai; atau
e. jumlah penghasilan bruto berupa penarikan dana pensiun oleh
peserta program pensiun yang masih berstatus sebagai pegawai, dari dana pensiun
yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
(2) Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang
Pajak Penghasilan diterapkan atas:
a. 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto untuk
setiap pembayaran imbalan kepada bukan pegawai yang tidak bersifat berkesinambungan;
b. jumlah penghasilan bruto untuk setiap kali pembayaran yang
bersifat utuh dan tidak dipecah, yang diterima oleh peserta kegiatan.
4. Bagian Pertama Angka Romawi IV Lampiran Peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 tentang Pedoman Teknis Tata Cara
Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak
Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang
Pribadi, diubah sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
5. Bagian Kedua Angka Romawi V Lampiran Peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 tentang Pedoman Teknis Tata Cara
Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak
Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang
Pribadi, diubah sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
Pasal II
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku
pada tanggal 1 Januari 2009.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 12 Oktober 2009
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd
MOCHAMAD TJIPTARDJO
LAMPIRAN I
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-57/PJ/2009
TENTANG PERUBAHAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-31/PJ/2009
TENTANG PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK
PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 SEHUBUNGAN DENGAN
PEKERJAAN, JASA, DAN KEGIATAN ORANG PRIBADI
BAGIAN PERTAMA : PETUNJUK UMUM PENGHITUNGAN PPh PASAL
21 DAN/ATAU PPh PASAL 26
IV. PETUNJUK UMUM PEMOTONGAN PPh PASAL 21 BAGI ORANG PRIBADI YANG
BERSTATUS BUKAN PEGAWAI
IV.1. Pemotongan PPh Pasal 21 bagi orang pribadi dalam negeri bukan
pegawai, atas imbalan yang bersifat berkesinambungan
IV.1.a. Bagi yang telah memiliki NPWP dan hanya memperoleh penghasilan
dari hubungan kerja dengan Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 serta
tidak memperoleh penghasilan lainnya.
PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17
ayat (1) huruf a UU PPh atas jumlah kumulatif penghasilan kena pajak dalam
tahun kalender yang bersangkutan. Besarnya penghasilan kena pajak adalah
sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP
per bulan.
IV.1.b. Bagi yang tidak memiliki NPWP atau memperoleh penghasilan lainnya
selain dari hubungan kerja dengan Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26
serta memperoleh penghasilan lainnya.
PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17
ayat (1) huruf a UU PPh atas jumlah kumulatif 50% (lima puluh persen) dari
jumlah penghasilan bruto dalam tahun kalender yang bersangkutan.
IV.2. Pemotongan PPh Pasal 21 Bagi Orang Pribadi Dalam Negeri Bukan
Pegawai, atas Imbalan yang Tidak Bersifat Berkesinambungan.
PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17
ayat (1) huruf a UU PPh atas 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan
bruto.
IV.3. Dalam hal bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam angka IV.1
dan angka IV.2 adalah dokter yang melakukan praktik di rumah sakit dan/atau
klinik maka besarnya jumlah penghasilan bruto adalah sebesar jasa dokter yang
dibayarkan pasien melalui rumah sakit dan/atau klinik sebelum dipotong
biaya-biaya atau bagi hasil oleh rumah sakit dan/atau klinik.
IV.4. Dalam hal bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam angka IV.1
dan angka IV.2 memberikan jasa kepada Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal
26:
IV.4.a. mempekerjakan orang lain sebagai pegawainya maka besarnya jumlah
penghasilan bruto adalah sebesar jumlah pembayaran setelah dikurangi dengan
bagian gaji atau upah dari pegawai yang dipekerjakan tersebut, kecuali apabila
dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan bagian gaji atau upah dari
pegawai yang dipekerjakan tersebut maka besarnya penghasilan bruto tersebut
adalah sebesar jumlah yang dibayarkan;
IV.4.b. melakukan penyerahan material atau barang maka besarnya jumlah
penghasilan bruto hanya atas pemberian jasanya saja, kecuali apabila dalam
kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan antara pemberian jasa dengan material
atau barang maka besarnya penghasilan bruto tersebut termasuk pemberian jasa
dan material atau barang.
DIREKTUR
JENDERAL PAJAK,
ttd
MOCHAMAD
TJIPTARDJO
NIP
060044911
LAMPIRAN II
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-57/PJ/2009
TENTANG PERUBAHAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-31/PJ/2009
TENTANG PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK
PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 SEHUBUNGAN DENGAN
PEKERJAAN, JASA, DAN KEGIATAN ORANG PRIBADI
BAGIAN KEDUA : CONTOH PENGHITUNGAN PPh PASAL 21
DAN/ATAU PPh PASAL 26
V. CONTOH PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 ATAS PENGHASILAN YANG
DITERIMA OLEH BUKAN PEGAWAI.
V.1. CONTOH PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 ATAS PENGHASILAN YANG DITERIMA
OLEH BUKAN PEGAWAI YANG MENERIMA PENGHASILAN YANG BERSIFAT BERKESINAMBUNGAN.
V.1.a. Contoh penghitungan PPh Pasal 21 atas jasa dokter yang praktik di
rumah sakit dan/atau klinik
dr. Abdul Gopar, Sp.JP merupakan dokter spesialis
jantung yang melakukan praktik di Rumah Sakit Harapan Jantung Sehat dengan
perjanjian bahwa atas setiap jasa dokter yang dibayarkan oleh pasien akan
dipotong 20% oleh pihak rumah sakit sebagai bagian penghasilan rumah sakit dan
sisanya sebesar 80% dari jasa dokter tersebut akan dibayarkan kepada dr. Abdul
Gopar, Sp.JP pada setiap akhir bulan. Selain praktik di Rumah Sakit Harapan
Jantung Sehat dr. Abdul Gopar, Sp.JP juga melakukan praktik sendiri di klinik
pribadinya. dr. Abdul Gopar, Sp.JP telah memiliki NPWP dan pada tahun 2009,
jasa dokter yang dibayarkan pasien dari praktik dr. Abdul Gopar, Sp.JP di Rumah
Sakit Harapan Jantung Sehat adalah sebagai berikut:
Bulan
|
Jasa Dokter yang dibayar Pasien (Rupiah)
|
Januari
|
45,000,000.00
|
Februari
|
49,000,000.00
|
Maret
|
47,000,000.00
|
April
|
40,000,000.00
|
Mei
|
44,000,000.00
|
Juni
|
52,000,000.00
|
Juli
|
40,000,000.00
|
Agustus
|
35,000,000.00
|
September
|
45,000,000.00
|
Oktober
|
44,000,000.00
|
November
|
43,000,000.00
|
Desember
|
40,000,000.00
|
Jumlah
|
524,000,000.00
|
Penghitungan PPh Pasal 21 untuk masa Januari sampai
dengan Desember 2009:
Bulan
|
Jasa Dokter
yang dibayar
Pasien
(Rupiah)
|
Dasar
Pemotongan
PPh Pasal 21
(Rupiah)
|
Dasar
Pemotongan
PPh Pasal 21
Kumulatif
(Rupiah)
|
Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh
|
PPh Pasal 21 terutang (Rupiah)
|
(1)
|
(2)
|
(3)=50%x(2)
|
(4)
|
(5)
|
(6)=(3) x (5)
|
Januari
|
45,000,000
|
22,500,000
|
22,500,000
|
5%
|
1,125,000
|
Februari
|
49,000,000
|
24,500,000
|
47,000,000
|
5%
|
1,225,000
|
Maret
|
47,000,000
|
3,000,000
|
50,000,000
|
5%
|
150,000
|
20,500,000
|
70,500,000
|
15%
|
3,075,000
|
||
April
|
40,000,000
|
20,000,000
|
90,500,000
|
15%
|
3,000,000
|
Mei
|
44,000,000
|
22,000,000
|
112,500,000
|
15%
|
3,300,000
|
Juni
|
52,000,000
|
26,000,000
|
138,500,000
|
15%
|
3,900,000
|
Juli
|
40,000,000
|
20,000,000
|
158,500,000
|
15%
|
3,000,000
|
Agustus
|
35,000,000
|
17,500,000
|
176,000,000
|
15%
|
2,625,000
|
September
|
45,000,000
|
22,500,000
|
198,500,000
|
15%
|
3,375,000
|
Oktober
|
44,000,000
|
22,000,000
|
220,500,000
|
15%
|
3,300,000
|
November
|
43,000,000
|
21,500,000
|
242,000,000
|
15%
|
3,225,000
|
Desember
|
40,000,000
|
8,000,000
|
250,000,000
|
15%
|
1,200,000
|
12,000,000
|
262,000,000
|
25%
|
3,000,000
|
||
Jumlah
|
524,000,000
|
262,000,000
|
|
35,500,000
|
Apabila dr. Abdul Gopar Sp.JP tidak memiliki NPWP,
maka PPh Pasal 21 terutang adalah sebesar 120% dari PPh Pasal 21 terutang
sebagaimana contoh di atas.
V.1.b. Contoh penghitungan PPh Pasal 21 atas komisi yang dibayarkan
kepada petugas dinas luar asuransi (bukan sebagai pegawai perusahaan asuransi)
Neneng Hasanah adalah petugas dinas luar asuransi dari
PT Tabarru Life. Suami Neneng Hasanah telah terdaftar sebagai Wajib Pajak dan
mempunyai NPWP, dan yang bersangkutan bekerja pada PT Kersamanah. Neneng
Hasanah telah menyampaikan fotokopi kartu NPWP suami, fotokopi surat nikah dan
fotokopi kartu keluarga kepada pemotong pajak. Neneng Hasanah hanya memperoleh
penghasilan dari kegiatannya sebagai petugas dinas luar asuransi, dan telah
menyampaikan surat pernyataan yang menerangkan hal tersebut kepada PT Tabarru
Life. Pada tahun 2009, penghasilan yang diterima oleh Neneng Hasanah sebagai
petugas dinas luar asuransi dari PT Tabarru Life adalah sebagai berikut:
Bulan
Komisi agen (Rupiah)
Januari
|
38.000.000,00
|
Februari
|
38.000.000,00
|
Maret
|
41.000.000,00
|
April
|
42.000.000,00
|
Mei
|
44.000.000,00
|
Juni
|
45.000.000,00
|
Juli
|
45.000.000,00
|
Agustus
|
48.000.000,00
|
September
|
50.000.000,00
|
Oktober
|
52.000.000,00
|
November
|
55.000.000,00
|
Desember
|
56.000.000,00
|
Jumlah
|
554.000.000,00
|
Penghitungan PPh Pasal 21 untuk bulan Januari s.d.
Desember 2009 adalah sebagai berikut:
Bulan
|
Penghasilan Bruto (Rupiah)
|
50% dari Penghasilan Bruto
|
PTKP (Rupiah)
|
Penghasilan Kena Pajak (Rupiah)
|
Penghasilan Kena Pajak Kumulatif (Rupiah)
|
Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh
|
PPh Pasal 21 terutang (Rupiah)
|
(1)
|
(2)
|
(3)=50%x(2)
|
(4)
|
(5)
|
(6)
|
(7)
|
(8)=(5) x (7)
|
Januari
|
38.000.000
|
19.000.000
|
1.320.000
|
17.680.000
|
17.680.000
|
5%
|
884.000
|
Februari
|
38.000.000
|
19.000.000
|
1.320.000
|
17.680.000
|
35.360.000
|
5%
|
884.000
|
Maret
|
41.000.000
|
20.500.000
|
1.320.000
|
14.640.000
|
50.000.000
|
5%
|
732.000
|
54.540.000
|
15%
|
681.000
|
|||||
April
|
42.000.000
|
21.000.000
|
1.320.000
|
19.680.000
|
74.220.000
|
15%
|
2.952.000
|
Mei
|
44.000.000
|
22.000.000
|
1.320.000
|
20.680.000
|
94.900.000
|
15%
|
3.102.000
|
Juni
|
45.000.000
|
22.500.000
|
1.320.000
|
21.180.000
|
116.080.000
|
15%
|
3.177.000
|
Juli
|
45.000.000
|
22.500.000
|
1.320.000
|
21.180.000
|
137.260.000
|
15%
|
3.177.000
|
Agustus
|
48.000.000
|
24.000.000
|
1.320.000
|
22.680.000
|
159.940.000
|
15%
|
3.402.000
|
September
|
50.000.000
|
25.000.000
|
1.320.000
|
23.680.000
|
183.620.000
|
15%
|
3.552.000
|
Oktober
|
52.000.000
|
26.000.000
|
1.320.000
|
24.680.000
|
208.300.000
|
15%
|
3.702.000
|
November
|
55.000.000
|
27.500.000
|
1.320.000
|
26.180.000
|
234.480.000
|
15%
|
3.927.000
|
Desember
|
56.000.000
|
28.000.000
|
1.320.000
|
15.520.000
|
250.000.000
|
15%
|
2.328.000
|
11.160.000
|
261.160.000
|
25%
|
2.790.000
|
||||
Jumlah
|
554.000.000
|
277.000.000
|
|
35.290.000
|
Dalam hal Neneng Hasanah tidak dapat menunjukkan fotokopi
kartu NPWP suami, fotokopi surat nikah dan fotokopi kartu keluarga dan Neneng
Hasanah sendiri tidak memiliki NPWP, maka perhitungan PPh Pasal 21 dilakukan
sebagaimana contoh di atas namun tidak memperoleh pengurangan PTKP setiap
bulan, dan jumlah PPh Pasal 21 yang terutang adalah sebesar 120% dari PPh Pasal
21 yang seharusnya terutang dari yang memiliki NPWP sebagaimana penghitungan
berikut ini:
Bulan
|
Penghasilan Bruto (Rupiah)
|
Dasar Pemotongan PPh Pasal 21 (Rupiah)
|
Dasar Pemotongan PPh Pasal 21 Kumulatif (Rupiah)
|
Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh
|
Tarif tidak memiliki NPWP
|
PPh Pasal 21 terutang (Rupiah)
|
(1)
|
(2)
|
(3)=50%x(2)
|
(4)
|
(5)
|
(6)
|
(7)=(3)x(5)x(7)
|
Januari
|
38.000.000
|
19.000.000
|
19.000.000
|
5%
|
120%
|
1.140.000
|
Februari
|
38.000.000
|
19.000.000
|
38.000.000
|
5%
|
120%
|
1.140.000
|
Maret
|
41.000.000
|
12.000.000
|
50.000.000
|
5%
|
120%
|
720.000
|
8.500.000
|
58.500.000
|
5%
|
120%
|
510.000
|
||
April
|
42.000.000
|
21.000.000
|
79.500.000
|
5%
|
120%
|
1.260.000
|
Mei
|
44.000.000
|
22.000.000
|
101.500.000
|
15%
|
120%
|
3.960.000
|
Juni
|
45.000.000
|
22.500.000
|
124.000.000
|
15%
|
120%
|
4.050.000
|
Juli
|
45.000.000
|
22.500.000
|
146.500.000
|
15%
|
120%
|
4 050.000
|
Agustus
|
48.000.000
|
24.000.000
|
170.500.000
|
15%
|
120%
|
4.320.000
|
September
|
50.000.000
|
25.000.000
|
195.500.000
|
15%
|
120%
|
4.500.000
|
Oktober
|
52.000.000
|
26.000.000
|
221.500.000
|
15%
|
120%
|
4.680.000
|
November
|
55.000.000
|
27.500.000
|
249.000.000
|
15%
|
120%
|
4.950.000
|
Desember
|
56.000.000
|
1.000.000
|
250.000.000
|
15%
|
120%
|
180.000
|
27.000.000
|
277.000.000
|
25%
|
120%
|
8.100.000
|
||
Jumlah
|
554.000.000
|
277.000.000
|
|
43.560.000
|
Dalam
hal suami Neneng Hasanah atau Neneng Hasanah sendiri telah memiliki NPWP,
tetapi Neneng Hasanah mempunyai penghasilan lain di luar kegiatannya sebagai
petugas dinas luar asuransi, maka perhitungan PPh Pasal 21 terutang adalah
sebagaimana contoh di atas, namun tidak dikenakan tarif 20% lebih tinggi karena
yang bersangkutan atau suaminya telah memiliki NPWP.
V.2. CONTOH
PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 ATAS PENGHASILAN YANG DITERIMA OLEH BUKAN PEGAWAI
YANG MENERIMA PENGHASILAN YANG TIDAK BERSIFAT BERKESINAMBUNGAN.
Nashrun Berlianto melakukan jasa perbaikan komputer
kepada PT Cahaya Kurnia dengan fee sebesar Rp5.000.000,00.
Besarnya
PPh Pasal 21 yang terutang adalah sebesar:
5%
x 50% Rp5.000.000,00 = Rp125.000,00
Dalam hal Nashrun Berlianto tidak memiliki NPWP maka
besarnya PPh Pasal 21 yang terutang menjadi sebesar:
5%
x 120% x 50% Rp5.000.000,00 = Rp150.000,00
V.3. CONTOH PENGHITUNGAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21 ATAS PENGHASILAN
YANG DITERIMA OLEH BUKAN PEGAWAI SEHUBUNGAN DENGAN PEMBERIAN JASA YANG DALAM
PEMBERIAN JASANYA MEMPEKERJAKAN ORANG LAIN SEBAGAI PEGAWAINYA DAN/ATAU
MELAKUKAN PENYERAHAN MATERIAL/BAHAN
Arip Nugraha
melakukan jasa perawatan AC kepada PT Wahana Jaya dengan imbalan
Rp10.000.000,00. Arip Nugraha mempergunakan tenaga 5 orang pekerja dengan
membayarkan upah harian masing-masing sebesar Rp180.000,00. Upah harian yang
dibayarkan untuk 5 orang selama melakukan pekerjaan sebesar Rp4.500.000,00.
Selain itu, Arip Nugraha membeli spare part AC yang dipakai untuk perawatan AC
sebesar Rp1.000.000,00.
Penghitungan
PPh Pasal 21 terutang adalah sebagai berikut:
a. Dalam hal berdasarkan perjanjian serta
dokumen yang diberikan oleh Arip Nugraha, dapat diketahui bagian imbalan bruto
yang merupakan upah yang harus dibayarkan kepada pekerja harian yang
dipekerjakan oleh Arip Nugraha dan biaya untuk membeli spare part AC, maka
jumlah imbalan bruto sebagai dasar perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong
oleh PT Wahana Jaya atas imbalan yang diberikan kepada Arip Nugraha adalah
sebesar imbalan bruto dikurangi bagian upah tenaga kerja harian yang
dipekerjakan Arip Nugraha dan biaya spare part AC, sebagaimana dalam contoh
adalah sebesar:
Rp
10.000.000,00 - Rp 4.500.000,00 - Rp 1.000.000,00 = Rp 4.500.000,00.
PPh
Pasal 21 yang harus dipotong PT Wahana Jaya atas penghasilan yang diterima Arip
Nugraha adalah sebesar:
5%
x 50% x Rp 4.500.000,00 = Rp 112.500,00
Dalam
hal Arip Nugraha tidak memiliki NPWP maka PPh Pasal 21 yang harus dipotong oleh
PT Wahana Jaya menjadi:
5%
x 120% x 50% x Rp 4.500.000,00 = Rp 135.000,00
b. Dalam hal PT Wahana Jaya tidak memperoleh informasi
berdasarkan perjanjian yang dilakukan atau dokumen yang diberikan oleh Arip
Nugraha mengenai upah yang harus dikeluarkan Arip Nugraha atau pembelian
material/bahan, PPh Pasal 21 yang harus dipotong PT Wahana Jaya adalah sebesar:
5%
x 50% x Rp10.000.000,00 = Rp250.000,00
Dalam
hal Arip Nugraha tidak memiliki NPWP maka PPh Pasal 21 yang harus dipotong oleh
PT Wahana Jaya menjadi:
5%
x 120% x 50% x Rp 10.000.000,00 = Rp 300.000,00
Catatan:
Untuk
pembayaran upah harian kepada masing-masing pekerja wajib dipotong PPh Pasal 21
oleh Arip Nugraha.
DIREKTUR
JENDERAL PAJAK,
ttd
MOCHAMAD
TJIPTARDJO
NIP
060044911
Tidak ada komentar:
Posting Komentar