PERATURAN PEMERINTAH
NOMOR 94 TAHUN 2010
TANGGAL 30 DESEMBER 2010
TENTANG
PENGHITUNGAN
PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa dengan dilakukannya perubahan
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang
Perubahan Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan, perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan penghitungan
Penghasilan Kena Pajak dan pelunasan Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 35
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang
Perubahan Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penghitungan
Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik lndonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor
50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang Perubahan
Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH
REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN
PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan
Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:
1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan adalah Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
UNDANG-UNDANG nomor 16 TAHUN 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat atas
Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan.
2. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang
Perubahan Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan.
3. Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah Undang-Undang
nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang nomor 42 TAHUN 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang
nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah.
BAB II
OBJEK PAJAK
Pasal 2
Objek pajak berupa
dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g Undang-Undang Pajak
Penghasilan tidak termasuk pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa
penyetoran yang berasal dari:
a. kapitalisasi agio saham kepada pemegang
saham yang telah menyetor modal atau membeli saham di atas harga nominal,
sepanjang jumlah nilai nominal saham yang dimilikinya setelah pembagian saham
bonus tidak melebihi jumlah setoran modal; dan
b. kapitalisasi selisih lebih penilaian
kembali aktiva tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang
Pajak Penghasilan.
Pasal 3
Dalam hal terjadi
pengalihan harta perusahaan kepada pegawainya, maka keuntungan berupa selisih
antara harga pasar harta tersebut dengan nilai sisa buku merupakan penghasilan
bagi perusahaan.
Pasal 4
(1) Agio saham yang timbul dari selisih
lebih antara nilai pasar saham dan nilai nominal saham, tidak termasuk objek
pajak.
(2) Disagio saham yang timbul dari selisih
lebih antara nilai nominal saham dan nilai pasar saham, bukan merupakan
pengurang dari penghasilan bruto.
Pasal 5
(1) Bagian laba yang diterima atau diperoleh
oleh pemegang unit penyertaan Kontrak Investasi Kolektif termasuk keuntungan
atas pelunasan kembali unit penyertaannya, tidak termasuk sebagai objek pajak.
(2) Ketentuan terhadap bagian laba termasuk
keuntungan atas pelunasan kembali unit penyertaannya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berlaku juga bagi pemegang unit penyertaan yang merupakan Subjek Pajak
luar negeri
Pasal 6
Pembagian laba secara
langsung dan/atau tidak langsung yang berasal dari saldo laba termasuk saldo
laba berdasarkan proyeksi laba tahun berjalan merupakan objek pajak, kecuali
bagian laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f Undang-Undang
Pajak Penghasilan.
Pasal 7
(1) Surplus Bank Indonesia yang merupakan
objek Pajak Penghasilan adalah surplus Bank Indonesia menurut laporan keuangan
audit setelah dilakukan penyesuaian atau koreksi fiskal sesuai dengan
Undang-Undang Pajak Penghasilan dengan memperhatikan karakteristik Bank
Indonesia.
(2) Ketentuan mengenai tata cara
penghitungan dan pembayaran Pajak Penghasilan atas surplus Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 8
(1) Hubungan di antara pihak-pihak yang
bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a Undang-Undang
Pajak Penghasilan dapat terjadi karena ketergantungan atau keterikatan satu
dengan yang lain secara langsung atau tidak langsung berkenaan dengan:
a. usaha;
b. pekerjaan; atau
c. kepemilikan atau penguasaan.
(2) Hubungan di antara pihak-pihak yang
bersangkutan berkenaan dengan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
antara Wajib Pajak pemberi dengan Wajib Pajak penerima, dapat terjadi apabila
terdapat transaksi yang bersifat rutin antara kedua belah pihak.
(3) Hubungan di antara pihak-pihak yang
bersangkutan berkenaan dengan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b antara Wajib Pajak pemberi dengan Wajib Pajak penerima terjadi apabila
terdapat hubungan yang berupa pekerjaan, pemberian jasa, atau pelaksanaan
kegiatan secara langsung atau tidak langsung antara kedua pihak tersebut.
(4) Hubungan di antara pihak-pihak yang
bersangkutan berkenaan dengan kepemilikan atau penguasaan antara Wajib Pajak
pemberi dengan Wajib Pajak penerima sebagaimana dimaksud pada ayat (I) huruf c
terjadi apabila terdapat:
a. penyertaan modal secara langsung atau
tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) huruf a
Undang-Undang Pajak Penghasilan; atau
b. hubungan penguasaan secara langsung
atau tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) huruf b
Undang-Undang Pajak Penghasilan.
BAB III
PENGHITUNGAN
PENGHASILAN KENA PAJAK
Pasal 9
(1) Keuntungan atau kerugian selisih kurs
mata uang asing diakui sebagai penghasilan atau biaya berdasarkan sistem
pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar
Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.
(2) Keuntungan atau kerugian selisih kurs
mata uang asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan langsung
dengan usaha Wajib Pajak yang:
a. dikenakan Pajak Penghasilan yang
bersifat final; atau
b. tidak termasuk objek pajak,
tidak diakui sebagai
penghasilan atau biaya.
(3) Keuntungan atau kerugian selisih kurs
mata uang asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak berkaitan
langsung dengan usaha Wajib Pajak yang:
a. dikenakan Pajak Penghasilan yang
bersifat final; atau
b. tidak termasuk objek pajak,
diakui sebagai
penghasilan atau biaya sepanjang biaya tersebut dipergunakan untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan.
Pasal 10
(1) Pajak Masukan yang tidak dapat
dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto sepanjang dapat dibuktikan Pajak Masukan
tersebut:
a. benar-benar telah dibayar; dan
b. berkenaan dengan pengeluaran yang
berhubungan dengan kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan.
(2) Pajak Masukan yang dapat dikurangkan
dari penghasilan bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sehubungan dengan
pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan/atau harta tidak berwujud serta
biaya lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A Undang-Undang Pajak Penghasilan, harus
dikapitalisasi dengan pengeluaran atau biaya tersebut dan dibebankan melalui
penyusutan atau amortisasi.
Pasal 11
(1) Biaya pengembangan tanaman industri yang
berumur lebih dari 1 (satu) tahun dan hanya 1 (satu) kali memberikan hasil,
dikapitalisasi selama periode pengembangan dan merupakan bagian dari harga
pokok penjualan pada saat hasil tanaman industri dijual.
(2) Biaya pemeliharaan ternak yang berumur
lebih dari 1 (satu) tahun dan hanya 1 (satu) kali memberikan hasil,
dikapitalisasi selama periode pemeliharaan dan merupakan bagian dari harga
pokok penjualan pada saat ternak dijual.
Pasal 12
(1) Pinjaman tanpa bunga dari pemegang saham
yang diterima oleh Wajib Pajak berbentuk perseroan terbatas diperkenankan
apabila:
a. pinjaman tersebut berasal dari dana
milik pemegang saham itu sendiri dan bukan berasal dari pihak lain;
b. modal yang seharusnya disetor oleh
pemegang saham pemberi pinjaman telah disetor seluruhnya;
c. pemegang saham pemberi pinjaman tidak
dalam keadaan merugi; dan
d. perseroan terbatas penerima pinjaman
sedang mengalami kesulitan keuangan untuk kelangsungan usahanya.
(2) Apabila pinjaman yang diterima oleh
Wajib Pajak berbentuk perseroan terbatas dari pemegang sahamnya tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), atas pinjaman tersebut terutang
bunga dengan tingkat suku bunga wajar.
Pasal 13
Pengeluaran dan biaya
yang tidak boleh dikurangkan dalam menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak
bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, termasuk:
a. biaya untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan yang:
1) bukan merupakan objek pajak;
2) pengenaan pajaknya bersifat final;
dan/atau
3) dikenakan pajak berdasarkan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 Undang-Undang
Pajak Penghasilan dan Norma Penghitungan Khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
b. Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh
pemberi penghasilan.
BAB IV
PELUNASAN PAJAK
PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN
OLEH WAJIB PAJAK
SENDIRI
Pasal 14
Orang pribadi dalam
negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena
Pajak (PTKP) sehubungan dengan pekerjaan dari badan-badan yang tidak wajib
melakukan pemotongan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang
Pajak Penghasilan, wajib:
a. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
b. melaksanakan sendiri penghitungan dan
pembayaran Pajak Penghasilan yang terutang dalam tahun berjalan; dan
c. melaporkan penghitungan dan pembayaran
Pajak Penghasilan yang terutang dalam tahun berjalan dalam Surat Pemberitahuan
Tahunan.
BAB V
PELUNASAN PAJAK
PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN
MELALUI PIHAK LAIN
Pasal 15
(1) Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan
dilakukan pada akhir bulan:
a. terjadinya pembayaran; atau
b. terutangnya penghasilan yang
bersangkutan,
tergantung peristiwa
yang terjadi terlebih dahulu.
(2) Pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan,
dilakukan pada saat:
a. pembayaran; atau
b. tertentu lainnya yang diatur oleh
Menteri Keuangan.
(3) Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Pajak
Penghasilan, dilakukan pada akhir bulan:
a. dibayarkannya penghasilan;
b. disediakan untuk dibayarkannya
penghasilan; atau
c. jatuh temponya pembayaran penghasilan
yang bersangkutan,
tergantung peristiwa yang terjadi
terlebih dahulu.
(4) Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan,
dilakukan pada akhir bulan:
a. dibayarkannya penghasilan;
b. disediakan untuk dibayarkannya
penghasilan; atau
c. jatuh temponya pembayaran penghasilan
yang bersangkutan,
tergantung peristiwa
yang terjadi terlebih dahulu.
Pasal 16
Dalam hal pemotongan Pajak
Penghasilan Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan atau Pasal 26
Undang-Undang Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 dilakukan pada tahun pajak yang berbeda dengan tahun pajak
pengakuan penghasilan, maka atas Pajak Penghasilan yang telah dipotong tersebut
dapat dikreditkan pada tahun pajak dilakukan pemotongan.
Pasal 17
Dengan Peraturan
Direktur Jenderal Pajak, dapat ditetapkan saat pengakuan penghasilan dan biaya
dalam hal-hal tertentu sesuai dengan kebijakan Pemerintah.
Pasal 18
(1) Pajak Penghasilan atas pembayaran
royalti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a angka 3
Undang-Undang Pajak Penghasilan yang dilakukan dengan cara bagi hasil dipotong
oleh pihak yang wajib membayarkan.
(2) Ketentuan mengenai dasar pemotongan
Pajak Penghasilan atas pembayaran royalti sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 19
Dalam hal penghasilan
tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan Peraturan Pemerintah
tersendiri, atas penghasilan tersebut dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan
tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pasal 20
Pajak Penghasilan
yang dipotong atau dipungut berdasarkan tarif pemotongan atau pemungutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (5a), Pasal 22 ayat (3), dan Pasal 23
ayat (1a) Undang-Undang Pajak Penghasilan, dapat dikreditkan terhadap Pajak
Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan setelah Wajib
Pajak tersebut memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
Pasal 21
(1) Wajib Pajak yang dalam tahun pajak
berjalan dapat membuktikan tidak akan terutang Pajak Penghasilan karena:
a. mengalami kerugian fiskal;
b. berhak melakukan kompensasi kerugian
fiskal; atau
c. Pajak Penghasilan yang telah dibayar
lebih besar dari Pajak Penghasilan yang akan terutang,
dapat mengajukan
permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan
oleh pihak lain kepada Direktur Jenderal Pajak.
(2) Wajib Pajak yang atas penghasilannya
hanya dikenakan pajak bersifat final, dapat mengajukan permohonan pembebasan
dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan
kepada Direktur Jenderal Pajak.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata
cara pengajuan permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak
Penghasilan oleh pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 22
Dalam menghitung
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang
Pajak Penghasilan, terhadap bentuk usaha tetap yang terutang Pajak Penghasilan
pada suatu tahun pajak, kerugian fiskal tidak dapat dikompensasikan lagi dengan
Penghasilan Kena Pajak setelah dikurangi dengan Pajak Penghasilan.
Pasal 23
(1) Pajak Penghasilan yang terutang dari
Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Pajak
Penghasilan harus dibayar lunas sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan disampaikan.
(2) Dalam hal Wajib Pajak bentuk usaha tetap
memperpanjang jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pajak Penghasilan yang terutang
berdasarkan penghitungan sementara harus dibayar lunas sebelum penyampaian
pemberitahuan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan.
BAB VI
PENERAPAN PERJANJIAN
INTERNASIONAL
MENGENAI PERSETUJUAN
PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA
DAN PERTUKARAN
INFORMASI
Pasal 24
(1) Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
hanya berlaku bagi orang pribadi atau badan yang merupakan Subjek Pajak:
a. dalam negeri dari Indonesia; dan/atau
b. dari negara mitra persetujuan
penghindaran pajak berganda,
yang dibuktikan
dengan Surat Keterangan Domisili.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata
cara penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 25
(1) Direktur Jenderal Pajak dapat
melaksanakan kesepakatan dengan negara mitra dalam rangka pertukaran informasi,
prosedur persetujuan bersama, dan bantuan penagihan.
(2) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian
pertukaran informasi, pelaksanaan prosedur persetujuan bersama, dan pelaksanaan
bantuan penagihan diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 26
(1) Dalam hal terdapat ketentuan perpajakan
yang diatur dalam perjanjian internasional yang berbeda dengan ketentuan
perpajakan yang diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan, perlakuan
perpajakannya didasarkan pada ketentuan dalam perjanjian tersebut sampai dengan
berakhirnya perjanjian dimaksud, dengan syarat perjanjian tersebut telah sesuai
dengan Undang-Undang tentang Perjanjian Internasional.
(2) Pelaksanaan perlakuan perpajakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah mendapat persetujuan
Menteri Keuangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai
pelaksanaan perlakuan perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dengan Peraturan Menteri Keuangan.
BAB VII
PEMBUKUAN TERPISAH
DAN PERUBAHAN TAHUN BUKU
Pasal 27
(1) Wajib Pajak harus menyelenggarakan
pembukuan secara terpisah dalam hal:
a. memiliki usaha yang penghasilannya
dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dan tidak final;
b. menerima atau memperoleh penghasilan
yang merupakan objek pajak dan bukan objek pajak; atau
c. mendapatkan dan tidak mendapatkan
fasilitas perpajakan sebagaimana diatur dalam Pasal 31A Undang-Undang Pajak
Penghasilan.
(2) Biaya bersama bagi Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak dapat dipisahkan dalam rangka
penghitungan besarnya Penghasilan Kena Pajak, pembebanannya dialokasikan secara
proporsional.
Pasal 28
(1) Wajib Pajak yang melakukan perubahan
tahun buku dan telah mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (6) Undang-Undang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan, harus melaporkan penghasilan yang diterima atau diperoleh
dalam bagian tahun buku yang tidak termasuk dalam tahun buku yang baru dalam
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tersendiri untuk Bagian Tahun
Pajak yang bersangkutan.
(2) Sisa rugi fiskal yang masih dapat dikompensasikan
yang berasal dari tahun-tahun pajak sebelum perubahan tahun buku dapat
dikompensasikan dengan penghasilan untuk Bagian Tahun Pajak dan Tahun Pajak
berikutnya.
BAB VIII
FASILITAS PEMBEBASAN
ATAU PENGURANGAN
PAJAK PENGHASILAN
BADAN DALAM RANGKA PENANAMAN MODAL
Pasal 29
(1) Kepada Wajib Pajak yang melakukan
penanaman modal baru yang merupakan industri pionir, yang tidak mendapatkan
fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan dapat
diberikan fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (5) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal.
(2) Industri pionir sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah industri yang memiliki keterkaitan yang luas, memberi
nilai tambah dan eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan teknologi baru,
serta memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional.
Pasal 30
Ketentuan mengenai
pemberian fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 31
Penghitungan pajak
bagi Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir sebelum tanggal 1 Juli 2009
dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang
Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang nomor 17 TAHUN 2000 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang
nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan.
Pasal 32
Penghitungan pajak
dalam tahun berjalan sampai dengan Desember 2008, untuk tahun pajak 2009, bagi
Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir setelah tanggal 30 Juni 2009, dilakukan
berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang nomor 17 TAHUN 2000 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
Pasal 33
Fasilitas perpajakan
dengan jangka waktu yang terbatas yang diperoleh Wajib Pajak sebelum tanggal 1
Januari 2009 tetap berlaku sampai dengan berakhirnya jangka waktu fasilitas
perpajakan tersebut.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 34
Pada saat Peraturan
Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah nomor 138 TAHUN 2000 tentang
Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun
Berjalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 253, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4055), dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 35
Peraturan Pemerintah
ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 30
Desember 2010
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG
YUDHOYONO
Diundangkan di
Jakarta
pada tanggal 30
Desember 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK
ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
PATRIALIS AKBAR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar