PERATURAN PEMERINTAH
NOMOR 68 TAHUN 2009 TANGGAL 16 NOPEMBER 2009
TENTANG
TARIF PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BERUPA UANG PESANGON,
UANG MANFAAT PENSIUN, TUNJANGAN HARI TUA, DAN JAMINAN HARI TUA YANG DIBAYARKAN
SEKALIGUS
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa dengan dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang Perubahan
Keempat atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu
dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas
penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, dan
jaminan hari tua yang dibayarkan sekaligus;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 21 ayat (5) UNDANG-UNDANG nomor
36 TAHUN 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Tarif
Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat
Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang Dibayarkan Sekaligus;
Mengingat :
1. Pasal
5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1903 tentang Pajak
Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang Perubahan
Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TARIF PAJAK PENGHASILAN
PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BERUPA UANG PESANGON, UANG MANFAAT PENSIUN, TUNJANGAN
HARI TUA, DAN JAMINAN HARI TUA YANG DIBAYARKAN SEKALIGUS.
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:
1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang nomor 7
TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang Perubahan Keempat
atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan.
2. Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk
apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri
sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
3. Pegawai adalah orang pribadi dalam negeri yang menerima
penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, dan
jaminan hari tua yang dibayarkan sekaligus.
4. Uang Pesangon adalah penghasilan yang dibayarkan oleh
pemberi kerja termasuk Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja kepada pegawai,
dengan nama dan dalam bentuk apapun, sehubungan dengan berakhirnya masa kerja
atau terjadi pemutusan hubungan kerja, termasuk uang penghargaan masa kerja dan
uang penggantian hak.
5. Uang Manfaat Pensiun adalah penghasilan dari manfaat pensiun
yang dibayarkan kepada orang pribadi peserta dana pensiun secara sekaligus
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang dana pensiun oleh Dana
Pensiun Pemberi Kerja atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan yang pendiriannya
telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
6. Tunjangan Hari Tua adalah penghasilan yang dibayarkan
sekaligus oleh badan penyelenggara tunjangan hari tua kepada orang pribadi yang
telah mencapai usia pensiun.
7. Jaminan Hari Tua adalah penghasilan yang dibayarkan
sekaligus oleh badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja kepada orang
pribadi yang berhak dalam jangka waktu yang telah ditentukan atau keadaan lain
yang ditentukan.
8. Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja adalah badan yang
ditunjuk oleh pemberi kerja untuk mengelola Uang Pesangon yang selanjutnya
membayarkan Uang Pesangon tersebut kepada Pegawai dari pemberi kerja pada saat
berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja.
9. Pemotong Pajak adalah pemberi kerja, Pengelola Dana Pesangon
Tenaga Kerja, Dana Pensiun Pemberi Kerja, atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan,
badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan lain yang membayar
Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua.
Pasal 2
(1) Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai berupa
Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua
yang dibayarkan sekaligus dikenai pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang
bersifat final.
(2) Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun,
Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) dianggap dibayarkan sekaligus dalam hal sebagian atau seluruh
pembayarannya dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun kalender.
Pasal 3
(1) Pembayaran Uang Pesangon kepada Pegawai dapat dilakukan
secara langsung oleh pemberi kerja atau dialihkan kepada Pengelola Dana
Pesangon Tenaga Kerja.
(2) Dalam hal pemberi kerja mengalihkan Uang Pesangon secara
sekaligus kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja, Pegawai dianggap telah
menerima hak atas Uang Pesangon.
(3) Dalam hal pemberi kerja mengalihkan Uang Pesangon secara
bertahap atau berkala kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja, Pegawai
dianggap belum menerima hak atas Uang Pesangon.
(4) Dalam hal terjadi pengalihan Uang Manfaat Pensiun kepada
perusahaan asuransi jiwa dengan cara Dana Pensiun membeli anuitas seumur hidup,
Pegawai sebagai peserta dianggap telah menerima hak atas Uang Manfaat Pensiun
yang dibayarkan secara sekaligus.
Pasal 4
Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan
berupa Uang Pesangon ditentukan sebagai berikut:
a. sebesar 0% (nol persen) atas penghasilan bruto sampai dengan
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah);
b. sebesar 5% (lima persen) atas penghasilan bruto di atas
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah);
c. sebesar 15% (lima belas persen) atas penghasilan bruto di
atas Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sampai dengan Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah);
d. sebesar 25% (dua puluh lima persen) atas penghasilan bruto
di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 5
Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan
berupa Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua ditentukan
sebagai berikut:
a. sebesar 0% (nol persen) atas penghasilan bruto sampai dengan
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah);
b. sebesar 5% (lima persen) atas penghasilan bruto di atas
Rp50.000.000.00 (lima puluh juta rupiah).
Pasal 6
(1) Dalam hal terdapat bagian penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (2) yang terutang atau dibayarkan pada tahun ketiga dan
tahun-tahun berikutnya, pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dilakukan dengan
menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan atas
jumlah bruto seluruh penghasilan yang terutang atau dibayarkan kepada Pegawai
pada masing-masing tahun kalender yang bersangkutan.
(2) Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak bersifat final dan dapat diperhitungkan sebagai pembayaran
pajak pendahuluan atau kredit pajak.
(3) Atas pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berlaku ketentuan Pasal 21 ayat (5a) Undang-Undang
Pajak Penghasilan.
Pasal 7
(1) Pemotong Pajak wajib menghitung, memotong, menyetorkan, dan
melaporkan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang atas Uang Pesangon, Uang
Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua.
(2) Pemotong Pajak wajib memberikan bukti pemotongan Pajak
Penghasilan Pasal 21 baik diminta maupun tidak pada saat dilakukannya
pemotongan pajak kepada Pegawai yang berhak menerima Uang Pesangon, Uang
Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua.
(3) Kewajiban menghitung, memotong, menyetorkan, dan melaporkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan kewajiban memberikan bukti pemotongan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tetap dilakukan terhadap Pegawai yang
dikenai tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 sebesar 0% (nol persen).
Pasal 8
(1) Dalam hal pembayaran Uang Pesangon dialihkan oleh pemberi
kerja kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja dengan pembayaran secara
sekaligus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) pemotongan Pajak
Penghasilan Pasal 21 dilakukan oleh pemberi kerja pada saat pengalihan Uang
Pesangon.
(2) Dalam hal pembayaran Uang Pesangon dialihkan oleh pemberi
kerja kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja dengan pembayaran secara
bertahap atau berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3), pemberi
kerja tidak melakukan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas pengalihan
Uang Pesangon tersebut.
(3) Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Uang Pesangon
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Pengelola Dana Pesangon
Tenaga Kerja pada saat pembayaran Uang Pesangon kepada Pegawai.
Pasal 9
Dalam hal terjadi pengalihan Uang Manfaat Pensiun
kepada perusahaan asuransi jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4),
pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dilakukan oleh Dana Pensiun Pemberi Kerja
atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan pada saat pembelian anuitas seumur hidup.
Pasal 10
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemotongan
Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat
Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus
diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 11
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku,
pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas uang pesangon, uang tebusan pensiun
atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua yang
diperoleh Pegawai sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini dan pembayarannya
dilakukan setelah Peraturan Pemerintah ini berlaku, berlaku ketentuan Peraturan
Pemerintah nomor 149 TAHUN 2000 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21
atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Tebusan Pensiun, dan Tunjangan Hari
Tua atau Jaminan Hari Tua.
Pasal 12
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku,
Peraturan Pemerintah nomor 149 TAHUN 2000 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan
Pasal 21 atas Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Tebusan Pensiun, dan
Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2000 Nomor 266, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4067),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 13
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Rupublik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 16 November 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 16 November 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 169
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 68 TAHUN 2009
TENTANG
TARIF PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BERUPA UANG
PESANGON, UANG MANFAAT PENSIUN, TUNJANGAN HARI TUA, DAN JAMINAN
HARI TUA YANG DIBAYARKAN SEKALIGUS
I. UMUM
Dengan
diundangkannya UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang Perubahan Keempat atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan terdapat perubahan
materi sehingga perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan mengenai tarif
Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat
Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang sebelumnya diatur dengan
Peraturan Pemerintah nomor 149 TAHUN 2000 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan
Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Tebusan Pensiun, dan
Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 21 ayat (5) UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang Perubahan
Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan, tarif
pemotongan atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan
dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
orang pribadi dalam negeri, dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan lain
yang berbeda dengan tarif pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (1) huruf
a Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Materi
pokok yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini mengenai pengenaan Pajak
Penghasilan yang bersifat final, penetapan besaran tarif pajak, dan pemotongan
terhadap penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari
Tua, dan Jaminan Hari Tua.
Penghasilan
berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan
Hari Tua yang dibayarkan sekaligus pada umumnya jumlahnya relatif besar
dibandingkan penghasilan rutin yang diterima sebelumnya. Dengan penerapan tarif
progresif yang lebih rendah dari ketentuan umum tarif Pajak Penghasilan maka
manfaat yang djperoleh menjadi lebih besar dan memberikan keringanan,
kemudahan, kesederhanaan, dan kepastian hukum.
II. PASAL
DEMI PASAL
Pasal
1
Cukup
jelas.
Pasal
2
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Karena
alasan keuangan, pembayaran Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari
Tua atau Jaminan Hari Tua yang seharusnya dibayarkan sekaligus, dilakukan dalam
beberapa kali pembayaran. Pembayaran dalam beberapa kali pembayaran sepanjang
dilakukan dalam waktu 2 (dua) tahun kalender dianggap sebagai pembayaran secara
sekaligus, dan dihitung sebagai satu kesatuan untuk pengenaan pajaknya.
Pasal
3
Ayat
(1)
Pada
dasarnya kewajiban pembayaran Uang Pesangon dilakukan oleh pemberi kerja kepada
pegawainya pada saat terjadi pemutusan hubungan kerja. Namun ada kalanya,
kewajiban pembayaran Uang Pesangon tersebut dialihkan kepada Pengelola Dana
Pesangon Tenaga Kerja melalui pengalihan dana pesangon secara sekaligus atau
secara bertahap atau berkala.
Ayat
(2)
Apabila
pemberi kerja mengalihkan Uang Pesangon secara sekaligus kepada Pengelola Dana
Pesangon Tenaga Kerja, maka Pegawai dianggap telah menerima hak atas Uang
Pesangon, sehingga pemberi kerja sudah mempunyai kewajiban pemotongan Pajak
Penghasilan Pasal 21 pada saat pengalihan tersebut.
Ayat
(3)
Dalam
hal pemberi kerja mengalihkan Uang Pesangon secara bertahap atau berkala kepada
Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja, maka
Pegawai dianggap belum menerima hak atas Uang Pesangon, sehingga pemberi kerja
tidak mempunyai kewajiban untuk memotong Pajak Penghasilan Pasal 21 pada saat
pengalihan tersebut.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Pasal
4
Dengan
memperhatikan bahwa besarnya Uang Pesangon dikaitkan dengan masa kerja dan
besarnya upah atau penghasilan yang diterima setiap bulan, maka tarif Pajak
Penghasilan Pasal 21 yang dikenai bersifat progresif. Namun untuk memberikan
keadilan, kemudahan, dan kepastian hukum bagi Pegawai yang menerimanya, lapisan
tarif progresif yang diberlakukan berbeda dengan lapisan tarif yang ditentukan
dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Contoh
perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong atas penghasilan berupa
Uang Pesangon dengan jumlah Rp175.000.000,00.
Penghasilan
bruto Rp
175.000.000,00
Pajak
Penghasilan Pasal 21 terutang:
0%
x Rp50.000.000,00 = Rp 0,00
5%
x Rp50.000.000,00 = Rp 2.500.000,00
15%
x Rp75.000.000,00 = Rp11.250.000,00 (+)
--------------------------
Rp13.750.000,00
Dalam hal
pembayaran Uang Pesangon dalam contoh tersebut di atas dilakukan dalam beberapa
kali pembayaran, misalnya:
a. Bulan Desember 2009 Rp 50.000.000,00
b. Bulan April 2010 Rp 125.000.000,00 (+)
-----------------------------
Jumlah Rp
175.000.000,00
Perhitungan
pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 didasarkan pada jumlah pembayaran sebagai
satu kesatuan, yaitu sebesar Rp 175.000.000,00
Pajak
Penghasilan Pasal 21 yang harus dipotong:
Bulan
Desember 2009:
Jumlah
penghasilan bruto Rp 50.000.000,00
Pajak
Penghasilan Pasal 21 terutang:
0%
x Rp50.000.000,00 = Rp0,00
Bulan
April 2010:
Jumlah
penghasilan bruto Rp125.000.000,00
Pajak
Penghasilan Pasal 21 terutang:
5%
x Rp50.000.000,00 = Rp 2.500,000,00
15%
x Rp75.000.000,00 = Rp11.250.000,00 (+)
--------------------------
Jumlah Rp
13.750.000,00
Jumlah
seluruh Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong : Rp0,00 + Rp 13.750.000,00 =
Rp13.750.000,00.
Pasal
5
Berdasarkan
pertimbangan bahwa Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari
Tua yang dibayarkan sekaligus merupakan nilai tunai atas Uang Manfaat Pensiun,
Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan secara berkala untuk
jangka waktu yang cukup lama, maka penghasilan yang diterima sekaligus tersebut
pada dasarnya penghasilan yang seharusnya diterima untuk beberapa tahun pajak.
Dengan memperhatikan besarnya Uang Manfaat Pensiun yang berlaku saat ini pada
umumnya, maka penghasilan sekaligus tersebut jika dialokasikan dalam beberapa
tahun masih berlaku tarif terendah yaitu sebesar 5% (lima persen). Ketentuan
ini diberikan untuk memberikan keadilan, kemudahan, kesederhanaan, dan
kepastian hukum bagi penerima pensiun yang sudah masuk dalam usia tidak
produktif.
Untuk
memberikan perlakuan yang sama dengan Uang Pesangon, maka atas jumlah sampai
dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dikenai tarif 0% (nol person).
Contoh
perhitungan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong atas pembayaran
Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus sebesar Rp150.000.000,00 adalah:
Jaminan
Hari Tua yang dibayarkan sekaligus Rp150.000.000,00
Pajak
Penghasilan Pasal 21 yang terutang:
0%
x Rp 50.000.000,00 = Rp 0,00
5%
x Rp 100.000.000,00 = Rp5.000.000,00
= --------------------
Jumlah = Rp5.000.000,00
Dalam
hal jumlah pembayaran uang Jaminan Hari Tua tersebut di atas dibayarkan dalam
beberapa kali pembayaran, misalnya:
Bulan
Desember 2009 sebesar Rp
50.000.000,00
Bulan
Februari 2010 sebesar Rp
100.000.000,00
---------------------
Jumlah Rp
150.000.000,00
Pajak
Penghasilan Pasal 21 yang harus dipotong adalah sebagai berikut:
Bulan
Desember 2009:
0%
x Rp50.000.000,00 = Rp 0,00
Bulan
Februari 2010:
5%
x Rp100.000.000,00 = Rp5.000.000,00
--------------------
Jumlah = Rp5.000.000,00
Pasal
6
Ayat
(1)
Misalkan
pembayaran Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau
Jaminan Hari Tua yang seharusnya dilakukan sekaligus, namun masih dilakukan
bagian pembayaran pada tahun ketiga sebesar Rp50.000.000,00, jika kepada Wajib
Pajak orang pribadi yang bersangkutan dalam tahun tersebut hanya dibayarkan penghasilan
tersebut, Pajak Penghasilan Pasal 21 yang harus dipotong dihitung dengan
menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan atas
jumlah bruto tersebut, yaitu sebesar 5% x Rp50.000.000,00 = Rp2.500.000,00.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Penerima
penghasilan sebagaimana contoh penjelasan ayat (1) yang tidak mempunyai Nomor
Pokok Wajib Pajak, maka Pajak Penghasilan Pasal 21 yang harus dipotong sebesar
120% x 5% x Rp50.000.000,00 = Rp3.000.000,00.
Pasal
7
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Bukti
pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 wajib dibuat meskipun jumlah Pajak
Penghasilan Pasal 21 yang terutang nihil, karena dikenai tarif 0% (nol persen).
Pasal
8
Cukup
jelas.
Pasal
9
Cukup
jelas.
Pasal
10
Cukup
jelas
Pasal
11
Cukup jelas.
Pasal
12
Cukup
jelas.
Pasal
13
Cukup
jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5082
Tidak ada komentar:
Posting Komentar