Total Tayangan Halaman

Senin, 17 Desember 2012

PPH 21 NOMOR PER-57/PJ/2009 TANGGAL 12 OKTOBER 2009




PERATURAN DIRJEN PAJAK
NOMOR PER-57/PJ/2009 TANGGAL 12 OKTOBER 2009
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-31/PJ/2009 TENTANG PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN, JASA, DAN KEGIATAN ORANG PRIBADI

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang       :
bahwa agar pelunasan pajak dalam tahun berjalan melalui pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi yang merupakan bukan pegawai mendekati jumlah pajak yang akan terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Perubahan atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi;

Mengingat         :
1.         Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2.         Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3.         Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi;
4.         Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan      :
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-31/PJ/2009 TENTANG PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN, JASA, DAN KEGIATAN ORANG PRIBADI.

Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi diubah sebagai berikut:
1.         Ketentuan Pasal 9 ayat (1) diubah sehingga Pasal 9 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 9
            (1)        Dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 21 adalah sebagai berikut:
                        a.         Penghasilan Kena Pajak, yang berlaku bagi:
                                    1.         pegawai tetap;
                                    2.         penerima pensiun berkala;
                                    3.         pegawai tidak tetap yang penghasilannya dibayar secara bulanan atau jumlah kumulatif penghasilan yang diterima dalam 1 (satu) bulan kalender telah melebihi Rp1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah);
4.         bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c yang menerima imbalan yang bersifat berkesinambungan.
b.         Jumlah penghasilan yang melebihi Rp150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah) sehari, yang berlaku bagi pegawai tidak tetap yang menerima upah harian, upah mingguan, upah satuan atau upah borongan, sepanjang penghasilan kumulatif yang diterima dalam 1 (satu) bulan kalender belum melebihi Rp1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah);
c.         50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto, yang berlaku bagi bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c yang menerima imbalan yang tidak bersifat berkesinambungan;
d.         Jumlah penghasilan bruto, yang berlaku bagi penerima penghasilan selain penerima penghasilan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, dan huruf c.
            (2)        Dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 26 adalah jumlah penghasilan bruto.
2.         Ketentuan Pasal 10 ayat (2) dan ayat (5) diubah sehingga Pasal 10 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 10
(1)        Jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah seluruh jumlah penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang diterima atau diperoleh dalam suatu periode atau pada saat dibayarkan.
(2)        Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a adalah sebagai berikut:
a.         bagi pegawai tetap dan penerima pensiun berkala, sebesar penghasilan neto dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP);
                        b.         bagi pegawai tidak tetap, sebesar penghasilan bruto dikurangi PTKP;
                        c.         bagi bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c, sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP per bulan.
(3)        Besarnya penghasilan neto bagi pegawai tetap yang dipotong PPh Pasal 21 adalah jumlah seluruh penghasilan bruto dikurangi dengan:
a.         biaya jabatan, sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) sebulan atau Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) setahun;
b.         iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh pegawai kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau badan penyelenggara tunjangan hari tua atau jaminan hari tua yang dipersamakan dengan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
(4)        Besarnya penghasilan neto bagi penerima pensiun berkala yang dipotong PPh Pasal 21 adalah seluruh jumlah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya pensiun, sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya Rp200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) sebulan atau Rp2.400.000,00 (dua juta empat ratus ribu rupiah) setahun.
(5)        Dalam hal bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 hurut c memberikan jasa kepada Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26:
a.         mempekerjakan orang lain sebagai pegawainya maka besarnya jumlah penghasilan bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar jumlah pembayaran setelah dikurangi dengan bagian gaji atau upah dari pegawai yang dipekerjakan tersebut, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan bagian gaji atau upah dari pegawai yang dipekerjakan tersebut maka besarnya penghasilan bruto tersebut adalah sebesar jumlah yang dibayarkan;
b.         melakukan penyerahan material atau barang maka besarnya jumlah penghasilan bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya atas pemberian jasanya saja, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan antara pemberian jasa dengan material atau barang maka besarnya penghasilan bruto tersebut termasuk pemberian jasa dan material atau barang.
(6)        Dalam hal jumlah penghasilan bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibayarkan kepada dokter yang melakukan praktik di rumah sakit dan/atau klinik maka besarnya jumlah penghasilan bruto adalah sebesar jasa dokter yang dibayar oleh pasien melalui rumah sakit dan/atau klinik sebelum dipotong biaya-biaya atau bagi hasil oleh rumah sakit dan/atau klinik.
3.         Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 16
(1)        Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas jumlah kumulatif dalam satu tahun kalender dari:
a.         Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf c, bagi bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c yang menerima imbalan yang bersifat berkesinambungan yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1);
b.         50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto untuk setiap pembayaran imbalan bagi bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c yang bersifat berkesinambungan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1);
c.         jumlah penghasilan bruto berupa honorarium atau imbalan yang bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap pada perusahaan yang sama;
d.         jumlah penghasilan bruto berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus atau imbalan lain yang bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh mantan pegawai; atau
e.         jumlah penghasilan bruto berupa penarikan dana pensiun oleh peserta program pensiun yang masih berstatus sebagai pegawai, dari dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
(2)        Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas:
a.         50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto untuk setiap pembayaran imbalan kepada bukan pegawai yang tidak bersifat berkesinambungan;
b.         jumlah penghasilan bruto untuk setiap kali pembayaran yang bersifat utuh dan tidak dipecah, yang diterima oleh peserta kegiatan.
4.         Bagian Pertama Angka Romawi IV Lampiran Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi, diubah sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
5.         Bagian Kedua Angka Romawi V Lampiran Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi, diubah sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

Pasal II
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.

Ditetapkan di     :           Jakarta
pada tanggal      :           12 Oktober 2009

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
            ttd
MOCHAMAD TJIPTARDJO

                                                                    LAMPIRAN I
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-57/PJ/2009 TENTANG PERUBAHAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-31/PJ/2009 TENTANG PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN, JASA, DAN KEGIATAN ORANG PRIBADI

BAGIAN PERTAMA : PETUNJUK UMUM PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26
IV.        PETUNJUK UMUM PEMOTONGAN PPh PASAL 21 BAGI ORANG PRIBADI YANG BERSTATUS BUKAN PEGAWAI
IV.1.     Pemotongan PPh Pasal 21 bagi orang pribadi dalam negeri bukan pegawai, atas imbalan yang bersifat berkesinambungan
IV.1.a.   Bagi yang telah memiliki NPWP dan hanya memperoleh penghasilan dari hubungan kerja dengan Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 serta tidak memperoleh penghasilan lainnya.
PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas jumlah kumulatif penghasilan kena pajak dalam tahun kalender yang bersangkutan. Besarnya penghasilan kena pajak adalah sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP per bulan.
IV.1.b.   Bagi yang tidak memiliki NPWP atau memperoleh penghasilan lainnya selain dari hubungan kerja dengan Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 serta memperoleh penghasilan lainnya.
PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas jumlah kumulatif 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto dalam tahun kalender yang bersangkutan.
IV.2.     Pemotongan PPh Pasal 21 Bagi Orang Pribadi Dalam Negeri Bukan Pegawai, atas Imbalan yang Tidak Bersifat Berkesinambungan.
PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto.
IV.3.     Dalam hal bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam angka IV.1 dan angka IV.2 adalah dokter yang melakukan praktik di rumah sakit dan/atau klinik maka besarnya jumlah penghasilan bruto adalah sebesar jasa dokter yang dibayarkan pasien melalui rumah sakit dan/atau klinik sebelum dipotong biaya-biaya atau bagi hasil oleh rumah sakit dan/atau klinik.
IV.4.     Dalam hal bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam angka IV.1 dan angka IV.2 memberikan jasa kepada Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26:
IV.4.a.   mempekerjakan orang lain sebagai pegawainya maka besarnya jumlah penghasilan bruto adalah sebesar jumlah pembayaran setelah dikurangi dengan bagian gaji atau upah dari pegawai yang dipekerjakan tersebut, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan bagian gaji atau upah dari pegawai yang dipekerjakan tersebut maka besarnya penghasilan bruto tersebut adalah sebesar jumlah yang dibayarkan;
IV.4.b.   melakukan penyerahan material atau barang maka besarnya jumlah penghasilan bruto hanya atas pemberian jasanya saja, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan antara pemberian jasa dengan material atau barang maka besarnya penghasilan bruto tersebut termasuk pemberian jasa dan material atau barang.

                                                                                                DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
                                                                                                            ttd
                                                                                                MOCHAMAD TJIPTARDJO
                                                                                                NIP 060044911

                                                                   LAMPIRAN II
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-57/PJ/2009 TENTANG PERUBAHAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-31/PJ/2009 TENTANG PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN, JASA, DAN KEGIATAN ORANG PRIBADI

BAGIAN KEDUA : CONTOH PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26
V.         CONTOH PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 ATAS PENGHASILAN YANG DITERIMA OLEH BUKAN PEGAWAI.
V.1.      CONTOH PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 ATAS PENGHASILAN YANG DITERIMA OLEH BUKAN PEGAWAI YANG MENERIMA PENGHASILAN YANG BERSIFAT BERKESINAMBUNGAN.
V.1.a.   Contoh penghitungan PPh Pasal 21 atas jasa dokter yang praktik di rumah sakit dan/atau klinik
dr. Abdul Gopar, Sp.JP merupakan dokter spesialis jantung yang melakukan praktik di Rumah Sakit Harapan Jantung Sehat dengan perjanjian bahwa atas setiap jasa dokter yang dibayarkan oleh pasien akan dipotong 20% oleh pihak rumah sakit sebagai bagian penghasilan rumah sakit dan sisanya sebesar 80% dari jasa dokter tersebut akan dibayarkan kepada dr. Abdul Gopar, Sp.JP pada setiap akhir bulan. Selain praktik di Rumah Sakit Harapan Jantung Sehat dr. Abdul Gopar, Sp.JP juga melakukan praktik sendiri di klinik pribadinya. dr. Abdul Gopar, Sp.JP telah memiliki NPWP dan pada tahun 2009, jasa dokter yang dibayarkan pasien dari praktik dr. Abdul Gopar, Sp.JP di Rumah Sakit Harapan Jantung Sehat adalah sebagai berikut:
Bulan
Jasa Dokter yang dibayar Pasien (Rupiah)
Januari
  45,000,000.00
Februari
  49,000,000.00
Maret
  47,000,000.00
April
  40,000,000.00
Mei
  44,000,000.00
Juni
  52,000,000.00
Juli
  40,000,000.00
Agustus
  35,000,000.00
September
  45,000,000.00
Oktober
  44,000,000.00
November
  43,000,000.00
Desember
  40,000,000.00
Jumlah
524,000,000.00

Penghitungan PPh Pasal 21 untuk masa Januari sampai dengan Desember 2009:
Bulan
Jasa Dokter
yang dibayar
Pasien
(Rupiah)
Dasar
Pemotongan
PPh Pasal 21
(Rupiah)
Dasar
Pemotongan
PPh Pasal 21
Kumulatif
(Rupiah)
Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh
PPh Pasal 21 terutang (Rupiah)
(1)
(2)
(3)=50%x(2)
(4)
(5)
(6)=(3) x (5)
Januari
  45,000,000
  22,500,000
  22,500,000
5%
  1,125,000
Februari
  49,000,000
  24,500,000
  47,000,000
5%
  1,225,000
Maret
  47,000,000
  3,000,000
  50,000,000
5%
    150,000
  20,500,000
  70,500,000
15%
  3,075,000
April
  40,000,000
  20,000,000
  90,500,000
15%
  3,000,000
Mei
  44,000,000
  22,000,000
112,500,000
15%
  3,300,000
Juni
  52,000,000
  26,000,000
138,500,000
15%
  3,900,000
Juli
  40,000,000
  20,000,000
158,500,000
15%
  3,000,000
Agustus
  35,000,000
  17,500,000
176,000,000
15%
  2,625,000
September
  45,000,000
  22,500,000
198,500,000
15%
  3,375,000
Oktober
  44,000,000
  22,000,000
220,500,000
15%
  3,300,000
November
  43,000,000
  21,500,000
242,000,000
15%
  3,225,000
Desember
  40,000,000
   8,000,000
250,000,000
15%
  1,200,000
  12,000,000
262,000,000
25%
  3,000,000
Jumlah
524,000,000
262,000,000

35,500,000

Apabila dr. Abdul Gopar Sp.JP tidak memiliki NPWP, maka PPh Pasal 21 terutang adalah sebesar 120% dari PPh Pasal 21 terutang sebagaimana contoh di atas.
V.1.b.   Contoh penghitungan PPh Pasal 21 atas komisi yang dibayarkan kepada petugas dinas luar asuransi (bukan sebagai pegawai perusahaan asuransi)
Neneng Hasanah adalah petugas dinas luar asuransi dari PT Tabarru Life. Suami Neneng Hasanah telah terdaftar sebagai Wajib Pajak dan mempunyai NPWP, dan yang bersangkutan bekerja pada PT Kersamanah. Neneng Hasanah telah menyampaikan fotokopi kartu NPWP suami, fotokopi surat nikah dan fotokopi kartu keluarga kepada pemotong pajak. Neneng Hasanah hanya memperoleh penghasilan dari kegiatannya sebagai petugas dinas luar asuransi, dan telah menyampaikan surat pernyataan yang menerangkan hal tersebut kepada PT Tabarru Life. Pada tahun 2009, penghasilan yang diterima oleh Neneng Hasanah sebagai petugas dinas luar asuransi dari PT Tabarru Life adalah sebagai berikut:

Bulan
Komisi agen (Rupiah)
Januari
38.000.000,00
Februari
38.000.000,00
Maret
41.000.000,00
April
42.000.000,00
Mei
44.000.000,00
Juni
45.000.000,00
Juli
45.000.000,00
Agustus
48.000.000,00
September
50.000.000,00
Oktober
52.000.000,00
November
55.000.000,00
Desember
56.000.000,00
Jumlah
554.000.000,00

Penghitungan PPh Pasal 21 untuk bulan Januari s.d. Desember 2009 adalah sebagai berikut:

Bulan
Penghasilan Bruto (Rupiah)
50% dari Penghasilan Bruto
PTKP (Rupiah)
Penghasilan Kena Pajak (Rupiah)
Penghasilan Kena Pajak Kumulatif (Rupiah)
Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh
PPh Pasal 21 terutang (Rupiah)
(1)
(2)
(3)=50%x(2)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)=(5) x (7)
Januari
 38.000.000
 19.000.000
1.320.000
17.680.000
 17.680.000
 5%
    884.000
Februari
 38.000.000
 19.000.000
1.320.000
17.680.000
 35.360.000
 5%
   884.000
Maret
 41.000.000
 20.500.000
1.320.000
14.640.000
 50.000.000
5%
   732.000
 54.540.000
15%
   681.000
April
 42.000.000
 21.000.000
1.320.000
19.680.000
 74.220.000
15%
 2.952.000
Mei
 44.000.000
 22.000.000
1.320.000
20.680.000
 94.900.000
15%
 3.102.000
Juni
 45.000.000
 22.500.000
1.320.000
21.180.000
116.080.000
15%
 3.177.000
Juli
 45.000.000
 22.500.000
1.320.000
21.180.000
137.260.000
15%
 3.177.000
Agustus
 48.000.000
 24.000.000
1.320.000
22.680.000
159.940.000
15%
 3.402.000
September
 50.000.000
 25.000.000
1.320.000
23.680.000
183.620.000
15%
 3.552.000
Oktober
 52.000.000
 26.000.000
1.320.000
24.680.000
208.300.000
15%
 3.702.000
November
 55.000.000
 27.500.000
1.320.000
26.180.000
234.480.000
15%
 3.927.000
Desember
 56.000.000
 28.000.000
1.320.000
15.520.000
250.000.000
15%
 2.328.000
11.160.000
261.160.000
25%
 2.790.000
Jumlah
554.000.000
277.000.000

35.290.000

Dalam hal Neneng Hasanah tidak dapat menunjukkan fotokopi kartu NPWP suami, fotokopi surat nikah dan fotokopi kartu keluarga dan Neneng Hasanah sendiri tidak memiliki NPWP, maka perhitungan PPh Pasal 21 dilakukan sebagaimana contoh di atas namun tidak memperoleh pengurangan PTKP setiap bulan, dan jumlah PPh Pasal 21 yang terutang adalah sebesar 120% dari PPh Pasal 21 yang seharusnya terutang dari yang memiliki NPWP sebagaimana penghitungan berikut ini:

Bulan
Penghasilan Bruto (Rupiah)
Dasar Pemotongan PPh Pasal 21 (Rupiah)
Dasar Pemotongan PPh Pasal 21 Kumulatif (Rupiah)
Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh
Tarif tidak memiliki NPWP
PPh Pasal 21 terutang (Rupiah)
(1)
(2)
(3)=50%x(2)
(4)
(5)
(6)
(7)=(3)x(5)x(7)
Januari
 38.000.000
 19.000.000
 19.000.000
5%
120%
 1.140.000
Februari
 38.000.000
 19.000.000
 38.000.000
5%
120%
 1.140.000
Maret
 41.000.000
 12.000.000
 50.000.000
5%
120%
    720.000
  8.500.000
 58.500.000
5%
120%
    510.000
April
 42.000.000
 21.000.000
 79.500.000
5%
120%
 1.260.000
Mei
 44.000.000
 22.000.000
101.500.000
15%
120%
 3.960.000
Juni
 45.000.000
 22.500.000
124.000.000
15%
120%
 4.050.000
Juli
 45.000.000
 22.500.000
146.500.000
15%
120%
 4 050.000
Agustus
 48.000.000
 24.000.000
170.500.000
15%
120%
 4.320.000
September
 50.000.000
 25.000.000
195.500.000
15%
120%
 4.500.000
Oktober
 52.000.000
 26.000.000
221.500.000
15%
120%
 4.680.000
November
 55.000.000
 27.500.000
249.000.000
15%
120%
 4.950.000
Desember
 56.000.000
  1.000.000
250.000.000
15%
120%
   180.000
 27.000.000
277.000.000
25%
120%
 8.100.000
Jumlah
554.000.000
277.000.000

43.560.000

            Dalam hal suami Neneng Hasanah atau Neneng Hasanah sendiri telah memiliki NPWP, tetapi Neneng Hasanah mempunyai penghasilan lain di luar kegiatannya sebagai petugas dinas luar asuransi, maka perhitungan PPh Pasal 21 terutang adalah sebagaimana contoh di atas, namun tidak dikenakan tarif 20% lebih tinggi karena yang bersangkutan atau suaminya telah memiliki NPWP.
 V.2.     CONTOH PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 ATAS PENGHASILAN YANG DITERIMA OLEH BUKAN PEGAWAI YANG MENERIMA PENGHASILAN YANG TIDAK BERSIFAT BERKESINAMBUNGAN.
Nashrun Berlianto melakukan jasa perbaikan komputer kepada PT Cahaya Kurnia dengan fee sebesar Rp5.000.000,00.
                        Besarnya PPh Pasal 21 yang terutang adalah sebesar:
                                    5% x 50% Rp5.000.000,00 = Rp125.000,00
Dalam hal Nashrun Berlianto tidak memiliki NPWP maka besarnya PPh Pasal 21 yang terutang menjadi sebesar:
                                    5% x 120% x 50% Rp5.000.000,00 = Rp150.000,00
V.3.      CONTOH PENGHITUNGAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21 ATAS PENGHASILAN YANG DITERIMA OLEH BUKAN PEGAWAI SEHUBUNGAN DENGAN PEMBERIAN JASA YANG DALAM PEMBERIAN JASANYA MEMPEKERJAKAN ORANG LAIN SEBAGAI PEGAWAINYA DAN/ATAU MELAKUKAN PENYERAHAN MATERIAL/BAHAN
                        Arip Nugraha melakukan jasa perawatan AC kepada PT Wahana Jaya dengan imbalan Rp10.000.000,00. Arip Nugraha mempergunakan tenaga 5 orang pekerja dengan membayarkan upah harian masing-masing sebesar Rp180.000,00. Upah harian yang dibayarkan untuk 5 orang selama melakukan pekerjaan sebesar Rp4.500.000,00. Selain itu, Arip Nugraha membeli spare part AC yang dipakai untuk perawatan AC sebesar Rp1.000.000,00.
                        Penghitungan PPh Pasal 21 terutang adalah sebagai berikut:
                        a.         Dalam hal berdasarkan perjanjian serta dokumen yang diberikan oleh Arip Nugraha, dapat diketahui bagian imbalan bruto yang merupakan upah yang harus dibayarkan kepada pekerja harian yang dipekerjakan oleh Arip Nugraha dan biaya untuk membeli spare part AC, maka jumlah imbalan bruto sebagai dasar perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong oleh PT Wahana Jaya atas imbalan yang diberikan kepada Arip Nugraha adalah sebesar imbalan bruto dikurangi bagian upah tenaga kerja harian yang dipekerjakan Arip Nugraha dan biaya spare part AC, sebagaimana dalam contoh adalah sebesar:
                                    Rp 10.000.000,00 - Rp 4.500.000,00 - Rp 1.000.000,00 = Rp 4.500.000,00.
                                    PPh Pasal 21 yang harus dipotong PT Wahana Jaya atas penghasilan yang diterima Arip Nugraha adalah sebesar:
                                    5% x 50% x Rp 4.500.000,00 = Rp 112.500,00
                                    Dalam hal Arip Nugraha tidak memiliki NPWP maka PPh Pasal 21 yang harus dipotong oleh PT Wahana Jaya menjadi:
                                    5% x 120% x 50% x Rp 4.500.000,00 = Rp 135.000,00
b.         Dalam hal PT Wahana Jaya tidak memperoleh informasi berdasarkan perjanjian yang dilakukan atau dokumen yang diberikan oleh Arip Nugraha mengenai upah yang harus dikeluarkan Arip Nugraha atau pembelian material/bahan, PPh Pasal 21 yang harus dipotong PT Wahana Jaya adalah sebesar:
                                    5% x 50% x Rp10.000.000,00 = Rp250.000,00
                                    Dalam hal Arip Nugraha tidak memiliki NPWP maka PPh Pasal 21 yang harus dipotong oleh PT Wahana Jaya menjadi:
                                    5% x 120% x 50% x Rp 10.000.000,00 = Rp 300.000,00
                        Catatan:
                        Untuk pembayaran upah harian kepada masing-masing pekerja wajib dipotong PPh Pasal 21 oleh Arip Nugraha.

                                                                                                DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
                                                                                                            ttd
                                                                                                MOCHAMAD TJIPTARDJO
                                                                                                NIP 060044911


Tidak ada komentar:

Posting Komentar